Bapak A ingin membangun rumah, namun dia tidak memiliki uang cukup untuk membeli materialnya. Lalu dia pun meminjam ke bank untuk membangun rumah. Bapak B ingin memulai usaha yang membutuhkan modal banyak, maka dia pun meminjam uang di bank. Sedangkan bapak C terkena musibah, anaknya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit sehingga membutuhkan biaya yang tinggi, maka dia pun lari ke bank untuk meminjan uang.
Gambaran di atas adalah sekelumit gambaran keadaan seseorang dalam kehidupan di dunia ini, terkadang seseorang dihadang kebutuhan mendadak yang harus segera ditunaikan, namun dia belum memiliki uang.
Apakah kondisi-kondisi tersebut bisa melegalkan seseorang untuk pinjam uang di bank? Dan apakah sebenarnya hukum meminjam uang di bank? Terus, bagaimana jika meminjam uang di bank syariah?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tesebut, maka seyogianya kita mengenal apa itu hakikat hutang piutang dalam islam.
Hakitat Utang Piutang
Utang piutang dalam agama kita adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000, maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pada asalnya, hukum utang piutang adalah sunah bagi pemberi pinjaman, karena memberi pinjaman kepada yang membutuhkan adalah bentuk kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain yang tertindih kesulitan, termasuk perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah l selama tolong-menolong dalam kebajikan.
Bahkan, utang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirundung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak. Karena itu orang yang ingin meminjam dibolehkan, bukan termasuk meminta yang di makruhkan, selama tidak berhutang untuk perkara-perkara yang haram seperti narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya.
Adapun hukum memberi pinjaman terkadang bisa menjadi wajib, tatkala memberikan pinjaman kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
Disyariatkannya utang piutang berdasarkan firman Allah:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (al-Maidah : 2)
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam— bersabda:
“Barangsiapa meringankan kesulitan seseorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya kelak pada hari kiamat, dan barangsiapa mempermudah urusan seseorang yang sedang terhimpit kesusahan, niscaya Allah akan mempermudah urusannya kelak pada hari kiamat, dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama dia menolong saudaranya”. (Riwayat Muslim)
Karena memberi pinjaman merupakan transaksi yang bertujuan untuk memberi uluran tangan kepada orang yang sedang terhimpit kesusahan, dan bukan bertujuan untuk mencari keuntungan, maka islam mengharamkan memancing di air keruh, yaitu dengan mencari keuntungan dari piutang, karena setiap keuntungan dari piutang adalah riba, dan riba diharamkan oleh syariat islam.
Para ulama telah menegaskan hukum keuntungan yang didapat dari piutang dalam sebuah kaedah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”
Kaedah ini menegaskan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari hutang piutang, baik berupa materi, jasa, atau yang lainnya adalah haram, karena semuanya termasuk riba yang jelas keharamannya.
Perlu dicamkan, keuntungan dari piutang yang diharamkan adalah keuntungan yang terjadi kesepakatan di dalamnya. Jika dari pihak peminjam memberikan tambahan kepada pemberi pinjaman tanpa kesepakatan sebelumnya, maka hal ini tidak mengapa, karena hal tersebut merupakan bentuk pembayaran hutang yang bagus.
Berhutang di Bank?
Dari penjelasan tadi, bagaimana hukum meminjam uang di bank? Dan apakah sama antara hukum meminjam uang di bank konvensional dengan bank syariah?
Harus kita tanamkan dalam sanubari kita, bahwa Islam telah memberikan kaidah utama, yaitu selama akadnya adalah utang-piutang, maka setiap keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah riba, dan riba itu diharamkan dalam Islam.
Ketika seseorang melakukan transaksi utang piutang dengan bank, baik bank syariah ataupun bank konvensional, jika utang piutang itu menghasilkan keuntungan, maka keuntungan yang dihasilkan darinya adalah riba. Riba dalam Islam diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknat (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulis dan saksinya juga dilaknat.
Jabir –rodhiyallohu ‘anhu– berkata, “Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (Riwayat Muslim).
Islam dengan tegas mengharamkan riba, Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (al Baqarah: 275-276).
Jika seseorang beralasan bahwa dirinya tidak ikut memakan riba, maka ingatlah firman Allah:
“Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (al Maidah: 2 )
Ayat ini dengan tegas melarang tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, dan orang yang meminjam uang ke bank berarti dia telah menolong pihak pemberi hutang untuk memakan riba.
Mungkin, ada yang berpendapat, ketika seseorang meminjam uang di bank syariah, maka sebenarnya dia tidak melakukan transaksi utang piutang, namun dia melakukan transaksi mudharabah atau bagi hasil.
Maka perlu ditanyakan, jenis transaksi apa yang dilakukan tersebut. Jika memang transaksi yang dilakukan adalah transaksi bagi hasil, maka tidak mengapa. Namun, jika ternyata pada hakikatnya yang dia lakukan adalah transaksi utang piutang, maka setiap keuntungan yang dihasilkan dari piutang adalah riba.
Nah, untuk membedakan antara transaksi utang piutang dengan transaksi bagi hasil, bisa dicermati dengan dua hal di bawah ini:
1. Jika bank yang mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa. Akan tetapi, bila nasabah yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad utang piutang.
2. Bila bank tidak bersedia bertanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang nasabah peroleh melalui akad itu (ketika terdapat kerusakan ataupun cacat pada barang), maka akad yang terjadi adalah utang-piutang. Akan tetapi, bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang nasabah dapatkan melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.
Dua kaidah ini berlaku pada bank konvensional dan bank syariah. Maka, boleh tidaknya meminjam uang di bank, baik bank konvensional maupun syariah, tergantung bentuk transaksi yang dilakukan nasabah dengan bank. Namun, mayoritas bank melakukan transaksi utang piutang, bukan bagi hasil. Wallahu a’lam. (***)
Sumber: Rubrik Fikih Keluarga Majalah Nikah Sakinah Vol.9 No.12