Sebagian Malikiyah menyatakan bahwa, barangsiapa yang seluruh hartanya dari yang haram maka haram mengambil sedikit pun dari harta tersebut. Demikian pula jika diketahui bahwa makanannya dibeli dari harta yang haram (Syarh Mukhtashar Khalil li Al Khursyi, 21/500). Hal yang sama juga dinyatakan oleh sebagian ulama madzhab Hambali bahwa orang yang seluruh hartanya haram maka haram pula memakannya.
Kedua, sebagian besar hartanya haram. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian Syafi’iyah berpendapat makruh. Ketika menjelaskan kaidah ushul dalam madzhab Syafi’iyah yang redaksinya: “idzaa ijtama’a al halal wa al haram ghuliba al haram” (jika terkumpul sesuatu yang halal dan yang haram maka dimenangkan yang haram), kemudian as-Suyuthi menyebutkan beberapa catatan terkait dengan masalah ragu dalam menentukan yang haram. Di antaranya, ragu namun tidak diketahui asalnya, dan beliau memberikan contoh: “Bertransaksi dengan orang yang sebagian besar hartanya haram, jika tidak diketahui jenis benda (yang haram) maka tidak terlarang, menurut pendapat yang lebih benar, namun dimakruhkan. Demikian pula, mengambil pemberian penguasa jika kebanyakan hartanya haram (al-Asybah wa an-Nadhair-Syafi’i, 209). Demikian pula ditegaskan oleh an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab bahwa pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah makruh bukan haram, tidak sebagaimana pendapat al-Ghazali.
al-Marudzi bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang bekerja dengan riba, bolehkan makan hartanya? Imam Ahmad menjawab, “Tidak boleh. Karena Rasulullah n telah melaknat orang yang makan riba dan memberi makan orang lain dengan riba. Dan Nabi n memerintahkan untuk menahan diri ketika ada ketidak-jelasan antara yang halal dan yang haram.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang sebagian besar hartanya haram. Apakah transaksi dengan orang ini haram ataukah makruh? Kemudian beliau menukil perkataan Imam Ahmad, yang ringkasnya bahwa jika diketahui dengan pasti bahwa benda A inilah yang haram maka tidak boleh diterima. Namun jika kebanyakan hartanya haram dan tidak diketahui maka (sebaiknya) menghindarkan dirinya dari hal ini, kecuali jika harta haram tersebut sedikit dan tidak diketahui.
Sedangkan sebagian ulama’ Hambali berpendapat tidak haram secara mutlak baik harta yang haram tersebut banyak maupun sedikit, akan tetapi makruh. Lemah dan kuatnya hukum makruh ini sebanding dengan banyak dan sedikitnya harta yang haram. (al-Furu Ibn Muflih 4/403). Pendapat terakhir yang dinukil Ibnu Muflih ini dinilai paling tepat oleh al-Mardawi dalam Tashih al-Furu’ (Fatawa Syabakah Islamiyah no. 6880).
Sebagian ulama membedakan antara harta yang haram karena dzatnya – seperti babi, khamr – dan yang haram karena sifat – seperti harta riba –. Untuk harta yang haram karena sifatnya, maka yang menanggung dosa adalah pemiliknya bukan orang yang menerima harta ini dengan jalan yang mubah, semisal jamuan makan atau pemberian. Rincian semacam ini dinilai paling kuat oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (al-Qaul al-Mufid 2/243). Beliau v berdalil dengan muamalah yang dilakukan Nabi n dengan orang Yahudi. Padahal telah dipahami bahwa harta orang Yahudi kebanyakan dari riba dan sesuatu yang haram lainnya, seperti uang suap atau sogok. Di samping itu, pendapat ini juga didukung oleh kaidah dalam ilmu fikih: tabaadul asbaabil milki ka tabaadulil a’yaan (perubahan sebab kepemilikan suatu benda sebagaimana perubahan status benda tersebut).
Oleh karena itu, jika Anda menguatkan pendapat yang terakhir ini, maka status uang tersebut halal bagi yang menerima, karena uang tersebut statusnya sebagai gaji anda.
Satu hal lagi yang perlu kita perhatikan, Anda memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan kesalahan ini. Semoga Allah membimbing kita meniti jalan hidayah. Wallahu A’lam.(***)
Sumber : Artikel Majalah Nikah Sakinah Vol. 10 No. 4, Rubrik Konsultasi Syariat
ADS HERE !!!